Pengurus Cabang Rabithah Ma'ahid Islamiyyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU) Kabupaten Jepara

Senin, 16 Mei 2011

Masyarakat Madani dalam Perspektif al-Farabi

Pemikiran harmonis yang dicetuskan Farabi sejatinya berumur panjang. Selain masih asyik diperbincangkan, gagasan al-Farabi ternyata memunculkan polemik. Al-Farabi mengawali konsepnya dari klasifikasi pelbagai disiplin ilmu, dan disusul dengan penyatuan berbagai ideologi dan epistemologi. Sekat-sekat perbedaan antara pemikiran Aristoteles dan Plato mulai disinergikan kembali. Ini menepis anggapan mapan, bahwa memang terjadi perbedaan perspektif antara kedua filosof kenamaan tersebut. Terutama dalam masalah metafisika. Al-Farabi mencoba menanamkan keyakinan baru bahwa filsafat tidak mengalami pertentangan dengan agama (Islam).

Karya reformistik ini dicetak untuk pertama kalinya di Leiden, tahun 1895. Penyuntingnya adalah orientalis Jerman Frederick Detrich. Seorang guru besar Universitas Berlin. Tak lama, buku tersebut dicetak ulang tahun 1906 di Mesir dan Percetakan Katolik tahun 1959. Cetak ulang yang dialaminya menunjukkan urgensi buku ini sebagai rujukan-rujukan akademisi dalam permasalahan sosial politik.

Hal menarik dalam buku ini adalah konsep kebahagiaan yang ditawarkan al-Farabi. Menurutnya, kebahagiaan mempunyai keterkaitan yang sangat tajam dengan pengetahuan manusia; sebagai tujuan yang dicita-citakan oleh semua manusia. Kebahagiaan tak hanya terletak pada material saja. Melainkan pada pengetahuan kita dalam menyikapi materi-materi itu dan terkait erat dengan kesempurnaan jiwa dalam diri seseorang. Sepakat dengan apa yang statemen Jabiri, bahwa pengetahuan akan menjadikan manusia merasa tenang akan apa yang dimilikinya. Ia akan mampu menyikapi hidup, menempatkan sesuatu pada tempatnya serta memaknai hakekat kehidupan dan benda-benda yang ada. Terlebih lagi jika kebahagiaan tersebut dapat diwujudkan dalam naungan negara ideal, yang warga negaranya memiliki pemikiran secara benar.

Sebagai seorang filosof, tak salah jika al-Farabi menaruh perhatiannya pada problematika kenegaraan dan politik. Dan dia manifestasikan perhatiannya dalam buku ini. Polemik sosial politik yang terus berkecamuk membuat pemikirannya semakin terasah sehingga mampu  memberikan gagasan-gagasan brilian dalam upaya perbaikan sosial. Menurutnya, manusia sebagai makhluk sosial akan selalu membutuhkan individu lain untuk memenuhi setiap kebutuhannya. Untuk itu -dalam negara ideal- harus ada pembagian tugas bagi setiap individunya. Jika semua berjalan proporsional, kebutuhan negara dan warga negara akan tercapai. Tak kalah pentingnya adalah etika. Sebagai bagian penting filsafat, al-Farabi menganggap apabila orientasi moral berhasil, maka warga dalam negara ideal ini dapat dikatakan sebagai warga ideal.

Terma lain yang disorot al-Farabi adalah masalah kepemimpinan beserta segala peran dan karakteristiknya. Al-Farabi mengumpamakan seorang pemimpin dalam negara ideal sebagai seorang filosof sekaligus memiliki kualitas kenabian. Figur yang mampu memperoleh pengetahuan langsung dari Tuhan. Karena seorang pemimpin adalah pribadi yang dinilai sempurna sebagai satu-satunya orang yang mampu mengatur kehidupan negara. Seorang pemimpin tak hanya melambangkan pucuk struktur sosial kasat mata. Tapi juga pucuk kualitas kepemikiran yang mengantarkannya di batas tertinggi kemampuan manusia. Memang, persepsi seperti itu lebih nyata jika ditemukan dalam alam idea, namun bukan berarti nihil untuk dicapai. Maka dari itu, dalam formasi selanjutnya, al-Farabi mengkonsep negara idealnya dengan teori emanasi. Terlebih sifat-sifat paripurna seorang pemimpin hanya ada pada diri Muhammad. Jelaslah, bahwa kehidupan masyarakat akan berjalan seirama dengan keberlangsungan alam raya.

Civil Society sebagai terma baru yang diusung sarjana Barat, sejatinya tidak bertentangan dengan ide-ide dalam buku ini. Yaitu sebentuk upaya  guna memformat sistem masyarakat yang madani. Dalam terma madani, Farabi-pun sudah terlebih dahulu menggagas aktivitas keilmuan. Ilmu madani atau  science of civilization sangat penting dalam pembentukan masyarakat madani. Secara definitif, ilmu madani dijelaskan sebagai sebuah ilmu pengetahuan –baik lama atau baru- yang berfungsi untuk mencapai kebahagiaan serta dapat meneruskan pembentukan masyarakat madani. Dengan ini, Farabi menjadikan kesempurnaan akhlak dan intelektualitas sebagai bagian dari kesempurnaan manusia dan syarat menuju kebahagiaan. Singkatnya, ajaran agama menjamin kesehatan akal, begitu juga akal akan menjamin ajaran agama. Demikianlah hubungan harmonis antara akal dan agama ala Farabi.

Ara'u Ahlu al-Madînah al-Fadhlîlah sebagai buku monumental Farabi dinilai sangat revolusioner. Terbukti dalam beberapa hal, teorinya banyak diikuti sarjana Barat. Sebut saja August Comte dengan teori sosiologinya, yang menyatakan bahwa kebutuhan bermasyarakat merupakan faktor terpenting dalam pembentukan tatanan sosial. Juga urgensi peran serta bahasa dalam pembentukan sebuah negara adalah sekelumit wacana yang terlebih dulu dimunculkan lewat buku ini. Dan mungkin masih banyak lagi sarjana Barat lainnya yang terinspirasi oleh karya Farabi. Maka bagi pembaca yang mempunyai kecenderungan untuk mengkaji lebih dalam ilmu-ilmu filsafat dan sosial politik, buku ini dapat memberikan wacana baru sebagai pelengkap khazanah ke-Islaman kita.[]     

Judul Buku    : Ara'u Ahlu al-Madinah al-Fadhlîlah
Penulis         : Abu Nasr al-Farabi
Tebal Halaman    : 260 + xx
Penerbit        : al-Maktabah al-Azhariyah Li al-Turast
Resentator    : Maria Ulfa Fauzy